Minggu, 08 Mei 2016

Permasalahan Tata Kelola Sumberdaya Pesisir Indonesia - AGC Guru Honorer

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki kekayaan wilayah perairan yang luar biasa namun saat ini wilayah pesisir di Indonesia masih banyak yang belum begitu berkembang. Lantas apa yang menyebabkan wilayah pesisir Indonesia masih lambat berkembang?.
1.    Kualitas Sumberdaya Manusia Kelautan
Sampai dengan tahun 2000, laju pertumbuhan penduduk berkisar 1,6 persen dan menjelang tahun 2018 diperkirakan akan menurun menjadi 1,5 persen  per tahun, sehingga mendekati tahun 2018 Indonesia akan memiliki junlah sumberdaya manusia lebih kurang 256 juta jiwa.  Sebanyak 157 juta dari  256 juta diperkirakan tinggal di Pulau Jawa dan Bali, dan sebagian besar di wilayah pesisir (BPS, 2001).
Dari jumlah yang demikian besar, profil tenaga kerja yang ada pada saat ini diperkirakan 74% berpendidikan dasar termasuk 13% buta huruf, sebanyak 10,9% berpendidikan SLTP dan 13% SLTA, yang berpendidikan tinggi kurang lebih 2,3%.  Walaupun pada saat ini telah terjadi pergeseran latar belakang pendidikan ke arah yang semakin tinggi, namun masih timbul pertanyaan apakah kualifikasi pendidikan sumberdaya manusia tersebut dapat mendukung pengembangan dan penguasaan IPTEK kelautan seperti yang diharapkan.
Kenyataan diatas juga terjadi di dalam proporsi SDM setiap pemerintah daerah yang memiliki wilayah pesisir dan laut.  Hal ini tentu saja sangat ironis, mengingat beberapa propinsi/kabupaten/kota tersebut merupakan daerah dengan luasanan wilayah laut yang sangat besar (Aceh, Sulawesi, dll.)
2.    Kerusakan Fisik Lingkungan Pesisir
Tingkat intensitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di sebagian besar wilayah pesisir tertentu telah menimbulkan sejumlah dampak negatif terhadap kondisi fisik lingkungan pesisir dan laut.  Secara ringkas kondisi saat ini kerusakan lingkungan pesisir tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pencemaran di pesisir
a.     Kerusakan Fisik Habitat Ekosistem Pesisir dan Lautan
Kerusakan fisik baitat ekosistem wilayah pesisir dan laut di ndonesia umumnya terjadi pada hutan mangrove dan terumbu karang.  Hutan mangrove merupakan ekosistem yang paling produktif dan merupakan sumber hara untuk perikanan pantai.  Hutan ini menyokong kehidupan sejumlah besar sepesies binatang dengan menyediakan tempat berbiak, berpijah, dan makan.  Spesies tersebut meliputi berbagai jenis burung, ikan, kerang dan krustasea seperti udang, kepiting.  Hutan bakau juga berfungsi sebagai pelindung pantai dan penstabilisasi serta berperan sebagai penyangga pencegah erosi yang disebabkan oleh arus, gelombang, dan angin.  Mereka juga memainkan peranan penting sebagai pengendali banjir dan pemelihara permukaan air di bawah tanah.
Luas hutan mangrove di Indonseia terus mengalami penurunan dari luas areal yang mencapai 5.209.543 hektar pada tahun 1982, menurun menjadi 3.235.700 hektar pada tahun 1987 dan menurun lagi hingga sekitar 2.496.185 pada tahun 1993 ( Dahuri, dkk, 2001) seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini.
Penurunan luasan mangrove hampir merata terjadi di seluruh kawasan pesisir Indonesia. Penyebab dari penurunan luasan mangrove tersebut adalah karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan ikan seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman di kawasan pesisir serta eksploitasi (penebangan) hutan mangrove secara besar-besaran.
Nasib yang sama juga terjadi pada ekosistem terumbu karang.  Berdasarkan Walters (1994) luas terumbu karang Indonesia lebih kurang 60.000 km2.  Sedangkan menurut Tomascik, dkk (1997) menyebutkan 85.707 km2 yang tersebar luas di perairan Indonesia.  Kondisi terumbu karang di Indonesia telah banyak yang rusak.  Berdasarkan hasil penelitian Coral Reef Rehabilition and Management Project (COREMAP) dari luasan seluruhnya hanya tinggal 6,48% kondisinya masih baik, 22,53% baik, dan 28,39% rusak serta 42,59% rusak berat (Gambar 2).  Dari kondisi terumbu karang tersebut, ternyata terumbu karang di kawasan barat indonesia memiliki kondisi yang lebih buruk dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan tengah dan timur Indonesia.
Pada umumnya, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat desktruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jawab, dan sedimentasi akibat meningkatnya erosi dan lahan atas.  
b.    Pencemaran dan Sedimentasi
Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan laut dan pesisir, pencemaran merupakan faktor yang paling penting.  Hal ini disebabkan karena pencemaran tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik (hayati) perairan, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan manusia yang memanfaatkan biota atau perairan yang tercemar.  Selain itu pencemaran juga dapat menurunkan nilai estetika perairan laut dan pesisir yang terkena pencemaran.
Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan lautan di Indonesia pada saat ini telah berada pada kondisi yang sangat memperhatinkan.  Tingkat beban pencemaran (pollution load) di Indonesia dapat dibagi atas tigga kategori, yaitu tingkat pencemaran tinggi, tingkat pencemaran sedang, dan tingkat pencemaran rendah.  Kawasan yang termasuk kategori tingkat pencamaran yang tinggi adalah Propinsi Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Lampung dan Sulawesi Selatan.  Kawasan dengan kategori tingkat pencemaran sedang adalah Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, DI Aceh, Sumatera Barat, Jambi, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Maluku.  Sedangkan kawasan dengan tingkat pencemaran rendah adalah Propinsi Irian Jaya, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, dan Nusatenggara Timur.
Sumber utama pencemaran pesisir dan lautan terdiri dari tiga jenis kegiatan, yaitu kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, dan kegiatan pertanian.  Sementara itu bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah dan ketiga sumber tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, dan sampah.  Jika dianalisis secara mendalam, dapat disimpulkan bahwa kawasan-kawasan yang termasuk kategori tingkat pencemaran yang tinggi merupakan kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk, kawasan industri dan juga pertanian.  
Perairan Indonesia merupakan jalur transportasi yang strategis yang menghubungkan negara-negara dari benua Asia maupun Eropa yang akan menuju ke Asia Tenggara maupun Australia ataupun sebaliknya,  serta terletak diantara negara-negara produsen minyak dibagian barat dan negara-negara  konsumen di bagian Timur.
Indahnya Raja Ampat
Dari seluruh perairan Indonesia, wilayah yang rentan terhadap pencemaran yang dikaibatkan oleh tumpahan minyak adalah Selat Malaka, Selat Makasar, Pelabuhan, dan jalur-jalur laut atau selat yang dilalui oleh tangker.  Posisi strategis tersebut disamping memberikan manfaat secara ekonomi, dilain pihak juga mengandung resiko terhadap bahaya kerugian dari segi ekologis.  Kerugian secara ekologis tersebut berdampak cukup luas baik secara ekonomis maupun kerusakan sumberdaya alam.   
          Sementara itu, laju sedimentasi yang masuk ke perairan pesisir juga terus meingkat.  Laju sedimentasi yang cukup tinggi terutama terjadi di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.  Bebearapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa mengalami pendangkalan yang sangat besar, akibat tingginya laju sedimentasi.  Sebagai contoh laju sedimentasi di Sungai Citandui sebesar 5 juta m3 per tahun, Sungai Cikonde sebesar 770 ribu m3 per tahun.  Setiap tahun sekitar 1 juta m3 endapan dari kedua sungai tersebut diendapkan di Segera Anakan (ECI, 1995).  Penyebab dari tingginya laju sedimentasi ini adalah karena sistem pengelolaan kegiatan di lahan atas tidak dilakukan dengan benar, seperti HPH, pertanian, dan lain-lain yang cenderung mengabaikan pembangunan yang berwawasan lingkungan, khusunya azas konservasi tanah.
c.     Over Eksploitasi Sumberdaya Hayati Laut
Banyak sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut telah mengalami overeksploitasi.  Sebagai contoh adalah sumberdaya perikanan laut, meskipun secara agregat (nasional) sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar 58% dari total potensi lestarinya (MSY), (Aziz, et al, 1997), namun dibeberapa kawasan (perairan), beberapa stok sumberdaya ikan telah mengalami kondisi tangkap lebih (overfishing).
Kondisi overfishing ini bukan hanya disebabkan oleh tingkat penangkapan yang melampaui potensi sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena kualitas lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau kerusakan oleh pencemaran dan degradasi hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang merupakan tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan bagi sebgian besar biota laut tropis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar